Rabu, 30 November 2011

artikel tentang korupsi

Mitos dan Bukan Mitos Skandal Perbankan

Skandal perbankan yang masih marak di tanah air hanyalah mitos yang dibesar-besarkan sementara pihak, atau benar merupakan bukti nyata masih lemahnya pengelolaan bank kita? Artikel Djoko Retnadi pada harian Jawa Pos (24/12) yang berjudul Mitos Dalam Skandal Perbankan cukup mengusik perhatian.

Karena alih-alih meluruskan persepsi dan mengubur mitos tentang hakikat usaha dan resiko bisnis perbankan sebagaimana dimaksud, artikel tersebut lebih terkesan menuding dan " menyalahkan " masyarakat. Serta tersirat juga di dalamnya upaya "penyelamatan muka " dan "cuci tangan " dari pihak manajemen atas skandal dan penyelewengan yang akhir-akhir ini terjadi pada dunia perbankan nasional.

Dalam artikelnya, Djoko Retnadi mempermasalahkan persepsi kebanyakan masyarakat yang melihat pengelola bank sebagai malaikat dari bawah ke atas. Retnadi menggugat anggapan masyarakat bahwa para bankir adalah satu sosok yang tidak pernah dan tidak bisa melakukan kesalahan. Sebab dalam kenyataannya memang usaha perbankan adalah usaha yang penuh resiko. Dimana salah satu resiko yang ditekankan dan dituding oleh Retnadi sebagai akar dari berbagai skandal yang terjadi adalah resiko operasional.

Persepsi dari kebanyakan masyarakat, walau tidak sepenuhnya tepat, adalah persepsi yang bukan tidak berdasar dan tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Karena bisnis perbankan adalah bisnis kepercayaan. Yang di dalamnya mengharuskan satu prinsip kehati-hatian, manajemen resiko yang ajek serta akuntabilitas yang tinggi.Jasa perbankan adalah jasa perantara (intermediary) dari pihak yang memiliki atau berlebihan dana kepada pihak yang tidak memiliki atau memerlukan dana.

Sehingga dalam operasinya bank menggunakan leverage berupa dana masyarakat dalam bentuk berbagai simpanan (deposits) yang diputarkan kembali kepada masyarakat dalam berbagai rupa pinjaman (loans). Dimana faktor keamanan dan keberhati-hatian adalah faktor puncak (paramount) yang harus menjadi ukuran penilaian utama dari kegiatan yang dilakukan.Jadi disini adalah wajar bila kemudian terdapat harapan akan adanya satu ekstra kehati-hatian dan sikap amanah dari para pengelola bank.

Walau masyarakat tentu saja tidak menganggap para bankir adalah malaikat. Namun di sisi lain, masyarakat juga tidak menginginkan praktek asal urus dan salah urus terdapat pada perbankan nasional sehingga kemudian berkembang tak ubahnya dengan praktek percaloan biasa.Berkaitan dengan ini, berbagai skandal dan penyelewengan yang terjadi belakangan di dunia perbankan nasional dan perbankan negara khususnya juga tidak dapat dikategorikan secara persis sebagai kegagalan atau resiko operasi yang lazimnya terjadi di dunia perbankan.

Sebab dalam prakteknya skandal-skandal ini bukan merupakan resiko operasi biasa seperti halnya yang disebabkan oleh perubahan drastis tingkat bunga atau nilai tukar mata uang asing secara mendadak sebagaimana misalnya yang terjadi pada saat krisis moneter di tahun 1997. Begitu juga hal tersebut bukanlah sesuatu yang sifatnya "tak terelakkan" seperti yang disebabkan oleh bencana alam seperti kebakaran, banjir, gempa bumi atau perampokan bersenjata dan listrik padam.

Skandal-skandal yang dewasa ini terjadi pada dunia perbankan nasional tidak lebih merupakan suatu penyelewengan (fraud) dengan modus tradisional yang kasat mata yang seyogyanya bisa dihindari bila saja ada kedisiplinan dan lebih kehati-hatian dari pihak manajemen dan karyawan dalam menjalankan tugas.

Dari kasus BNI, misalnya, amat sangat menggelikan kalau sampai detik ini mantan direktur utama yang kini sudah - dan layak - dipecat masih berkeras bahwa yang bersangkutan sama sekali tidak mengetahui urusan Letter of Credit (L/C), yang tidak banyak berbeda dengan kredit biasa, senilai ratusan milyar yang dikucurkan berulang kali oleh salah satu kantor cabangnya.

Padahal sudah menjadi praktek umum di dunia perbankan adanya satu penilaian kredit berjenjang. Jadi kredit bernilai sekian juta sampai sekian milyar rupiah dapat disetujui cabang, akan tetapi untuk jumlah lebih dari itu harus mendapat persetujuan kantor wilayah. Begitu juga kantor wilayah tidak dapat melakukan otorisasi keputusan kredit lebih dari sekian milyar rupiah tanpa adanya persetujuan dari kantor pusat
.

Jadi jelas untuk urusan dana ratusan milyar, pihak direksi sudah seharusnya mengetahui keberadaan kredit ini.Menjadi hal yang sulit masuk akal kalau kemudian dalam keterangan resminya mantan direktur utama Bank BNI mengatakan tidak tahu-menahu sama sekali urusan ini. Karena hal ini sama dengan mengatakan yang bersangkutan tidak melaksanakan tugas atau " asal-asalan " dalam melaksanakan tugas.

Begitu juga pada skandal di Bank Rakyat Indonesia (BRI), dapat kita saksikan betapa mudahnya seorang yang diketahui memiliki sejarah hitam di bidang perbankan menginstruksikan seorang kepala cabang untuk melakukan perubahan status warkat transaksi milyaran rupiah dari deposito (simpanan berkala) ke giro (simpanan cair yang bisa bersaldo minus) hanya melalui selembar facsmile.

Padahal untuk mengubah satu instruksi dari transaksi sebesar ini seharusnya terdapat otorisasi dari minimal dua pejabat pada tingkat cabang yang itupun harus dilakukan setelah melalui proses uji kelaikan (cross-checking) ataupun konfirmasi personal (ear-marking) terhadap nasabah dan pihak-pihak terkait.Kejadian ini tentu saja menyiratkan adanya kerendahan disiplin karyawan terhadap prosedur.

Yang merupakan cermin dari kekurangseriusan pihak manajemen untuk menerapkan pengawasan dan memberikan sanksi terhadap pelanggaran. Ditambah dengan tanggung jawab dan moralitas sebagai pimpinan. Maka adalah wajar kalau kemudian pihak manajemen juga diminta dan dituntut pertanggungjawaban terhadap penyelewengan ini.

Dalam hal ini, tidak tercermin adanya satu prinsip kehati-hatian dan manajemen resiko yang baik pada dunia perbankan nasional, khususnya pada perbankan negara, seperti yang terlihat pada kasus BNI dan BRI tentu saja menjadi suatu hal yang sangat memprihatinkan. Karena sudah demikian besar dan banyak pengorbanan yang diberikan rakyat untuk mereka.

Masih belum hilang dalam benak masyarakat besarnya dana yang dihamburkan (Rp. 432 triliun) untuk "menyelamatkan" industri perbankan nasional. Yang bahkan sampai saat inipun setiap tahunnya selama dua puluh tahun ke depan rakyat masih harus menanggung beban dalam bentuk pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi yang besarnya kurang lebih dua puluh triliun rupiah.

Tidak aneh bila hanya dengan ongkang-ongkang kaki sambil menangguk pendapatan dari bunga obligasi pemerintah, bank-bank di Indonesia sudah mampu menunjukkan untung dalam laporan rugi-labanya. Bila saja pendapatan dari bunga obligasi ini ditiadakan niscaya mereka semua merugi. Sebagaimana yang tercermin pada berbagai laporan keuangan bank pada tahun 2002, dimana secara rata-rata bank nasional sebenarnya masih merugi sebesar kurang lebih Rp. 3.5 triliun rupiah bila saja pendapatan dari bunga obligasi pemerintah dicabut.

Hal ini sama saja berarti industri perbankan nasional adalah industri yang tidak tahu diri. Dan tidak terlalu salah kalau dikatakan monyet pun bila dipasangkan dasi bisa menjadi direktur dan pegawai bank di Indonesia. Mereka terus saja menadah dari pemerintah dan rakyat tanpa berupaya keras untuk memperbaiki diri dan mengkompensasi balik pengorbanan rakyat yang telah diberikan..

Ironisnya lagi semua ini berjalan dalam iklim ekonomi yang lumayan kondusif. Dimana terdapat pertumbuhan ekonomi yang mulai pesat, tingkat inflasi dan suku bunga yang relatif rendah, dan politik yang lumayan stabil. Yang seharusnya menasbihkan permintaan modal yang tinggi dari masyarakat dan naik pamornya perbankan nasional.

Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada bank-bank nasional bila saja terjadi krisis atau resesi perekonomian.Untuk itu sebagai upaya menutup berbagai kekurangan yang masih sangat-sangat telanjang bulat pada perbankan nasional saat ini yang dibutuhkan adalah kerja keras dan komitmen yang tinggi untuk perbaikan dari segenap direksi, manajemen dan karyawan dari perbankan nasional.

Dan bukan mencoba " meluruskan " persepsi dan meredam tuntutan masyarakat. Karena persepsi dan tuntutan masyarakat adalah persepsi dan tuntutan yang wajar dari mereka yang kecewa dan muak dengan berbagai salah urus, asal urus, penyelewengan dan skandal yang tidak kunjung habis menjerat perbankan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar