Rabu, 30 November 2011

artikel tentang linkungan hidup

Linkungan Hidup, Kerusakan Lingkungan, Pengertian, Kerusakan Lingkungan D

Masalah Ketenagakerjaan di Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia

www.depdagri.go.id

Struktur industri TPT nasional berdasarkan sektor.

  1. Sektor industri hulu (upstream), meliputi produksi serat (natural fiber dan man-made fiber atau synthetic) dan proses pemintalan (spinning) menjadi produk benang (unblended dan blended yarn). Sektor ini bersifat padat modal, teknologi menengah dan modern-full automatic, skala besar, jumlah tenaga kerja relatif kecil.
  2. Sektor industri menengah (midstream), meliputi proses penganyaman (interlacing) benang menjadi kain mentah lembaran (grey fabric) melalui proses pertenunan dan perajutan (weaving dan knitting) kemudian diolah lebih lanjut melalui proses pengolahan (dyeing, finishing dan printing) menjadi kain-jadi. Industri ini bersifat semi padat modal investasi dan modal kerja, teknologi madya dan modern-berkembang terus, jumlah tenaga kerja lebih besar dari sektor industri hulu.
  3. Sektor industri hilir (downstream), yaitu industri pakain jadi (garment) termasuk proses cutting, sewing, washing dan finishing yang menghasilkan ready-made garment. Sifat industri ini padat modal kerja, padat karya-sebagian besar wanita.

Masalah tenaga kerja di industri TPT nasional.

  1. Tenaga kerja merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi peningkatan daya saing produk TPT nasional di pasar global diantara faktor-faktor yang lainnya, yaitu: perbankan, energi, infrastruktur dan jarak/letak geografis negara Indonesia.
  2. Masalah tenaga kerja yang dihadapi industri TPT nasional yang mengakibatkan industri ini sulit bersaing dengan industri TPT dari negara-negara lain adalah:
    • Rendahnya produktivitas pekerja. Hasil penelitian tentang “Pemeringkatan Daya Tarik Investasi Kabupaten/Kota Tahun 2003” oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) adalah: 1) Dari 156 kabupaten: hanya 13 kabupaten yang produktivitas tenaga kerjanya sangat tinggi; 3 kabupaten produktivitas tenaga kerjanya tinggi; dan 24 kabupaten produktivitas tenaga kerjanya sedang. Sisanya, yaitu sebanyak 116 kabupaten adalah tenaga kerja yang produktivitasnya rendah dan sangat rendah. 2) Dari 44 kota: hanya 7 kota yang produktivitas tenaga kerjanya sangat tinggi; 5 kota yang produktivitas tenaga kerjanya tinggi; 14 kota yang produktivitas tenaga kerjanya sedang. Sisanya, yaitu sebanyak 18 kota adalah tenaga kerja yang produktivitasnya rendah dan sangat rendah.
    • Kekurangan tenaga professional, antara lain disektor industri weaving untuk bidang pemasaran dan disektor industri garment untuk tenaga di bidang merchandizing dan marketing. Hasil penelitian tentang kualitas pekerja, khususnya dalam hal pendidikan dan pengetahuan, sebagai berikut: 1) Hasil kajian kuisioner kualitas tenaga kerja KPPOD terhadap 5.140 pelaku usaha di 200 kabupaten/kota, yaitu: (i) Untuk usaha yang mempekerjakan > 100 tenaga kerja, 30,9% pelaku usaha menilai kualitas tenaga kerjanya kurang baik; (ii) Sementara untuk usaha yang mempekerjakan antara 20 s/d 100 tenaga kerja, sebanyak 20,7% pelaku usaha menilai kualitasnya kurang baik; (iii) Dan untuk usaha yang mempekerjakan < 20 tenaga kerja, sebanyak 20,4% pelaku usaha menilai kualitas tenaga kerjanya kurang baik. 2)Data dari Business News, September 2002, menyatakan dari total 100 juta jiwa pada tahun 2001 diketahui: (i) Berpendidikan rendah, yaitu 38% Sekolah Dasar (SD); (ii) Berpendidikan menengah (SLTP dan SMU) sekitar 35%; (iii) Tidak pernah lulus dan tidak pernah sekolah sekitar 22%; (iv) Pendidikan Tinggi dan Diploma hanya 5%, dan ini juga lebih dari setengahnya bekerja sebagai pegawai pemerintah (PNS dan BUMN/BUMD).

Masalah kebijakan ketenagakerjaan di industri TPT nasional.

Sejak diberlakukannya otonomi daerah, 01 Januari 2001, pelaksanaannya yang dominan muncul adalah penyimpangan dan efek negatif dari otonomi itu sendiri. Pemerintah daerah (pemda) berlomba-lomba memproduksi peraturan daerah (perda) untuk mengisi keuangan daerah (Pendapatan Asli Daerah – PAD) tanpa memikirkan dampaknya bagi dunia usaha. Otonomi daerah seharusnya dapat meningkatkan pelayanan pemerintah terhadap warganya, tetapi kenyataannya justru sebaliknya, yaitu dunia usaha justru dililit oleh pajak daerah maupun retribusi daerah yang bukan saja membebani akan tetapi juga menambah inefisiensi yang tahap akhirnya menciptakan hambatan terhadap perdagangan dan investasi bagi pengusaha/investor yang berniat berusaha/berinvestasi di daerah.

  • Hasil kajian tekstual KPPOD tahun 2003 terhadap 896 dokumen perda yang berhubungan dengan kegiatan usaha yang dikeluarkan oleh 200 pemda: 64 daerah (32%) perdanya distorsi; 107 daerah (53,5%) perdanya bisa diterima; dan 29 daerah (14,5%) perdanya dinilai supportif untuk kegiatan usaha.
  • Hasil survey dari Regional Economic Development Institute (Business News, April 2003) terhadap 1.014 pelaku usaha di 23 kabupaten/kota di 12 propinsi mengenai persepsi pelaku usaha tentang otonomi daerah dan dampaknya terhadap iklim usaha di daerah, yaitu: 1) 29,7% bermasalah dengan jumlah biaya dan pengurusan izin usaha. 2) Pungutan-pungutan liar yang dilakukan oleh oknum: aparat desa (27,7%), aparat pemda/kecamatan (24,6%), oknum kepolisian (16%), oknum TNI (9,3%), organisasi masyarakat (8%), satuan tugas partai politik (5%), dan aparat pelabuhan (2,7%).

Kerancuan koordinasi/kewenangan antara pusat dan daerah tidak jelas, khususnya dalam hal pelaksanaannya/operasionalnya. Dari survey yang dilakukan oleh Regional Economic Development Institute (Business News, April 2003), bahwa: sebanyak 57,5% pelaku usaha menyatakan pelayanan publik pemda buruk dan sebanyak 12,6% menyatakan lebih buruk dibandingkan sebelum adanya otonomi daerah.

Tumpang tindih peraturan antara pusat dan daerah, materinya banyak tidak mencerminkan keadilan yang tidak seimbang bagi industri dan juga tidak jelas, seperti:

  • Perda kota Bandung yang mengatur biaya retribusi tenaga kerja untuk kesehatan, wajib latih tenaga kerja, masalah PHK.
  • Sistem pengupahan: 1) Untuk penetapan uang/biaya: pesangon, penghargaan masa kerja, ganti kerugian, yang sebelumnya mengalami beberapa kali perubahan dan revisi. 2) Kenaikan upah di Bandung sampai terjadi 4 kali dalam kurun waktu setengah tahun dengan jumlah kenaikan hampir 100%.
  • Ratifikasi konvensi ILO No. 87/1948, ternyata menimbulkan masalah, yaitu jumlah serikat pekerja/buruh yang lebih dari satu dalam satu perusahaan. Sementara rambu-rambu hukum yang mengaturnya belum disiapkan, akibatnya konflik yang berkepanjangan antara serikat pekerja/buruh didalam perusahaan.

Penetapan kenaikan upah:

  • Setiap tahun lebih besar dari angka inflasi dan tidak melihat indikator ekonomi.
  • Tidak melihat kemampuan perusahaan untuk membayar upah (company ability to pay) serta tidak dikaitkan dengan tingkat produktivitas minimum perusahaan.

Dibenarkannya oleh pemerintah masuknya unsur ke-4 ikut dalam Tripartit, yaitu para pengamat ketenagakerjaan dan LSM perburuhan, dengan istilah Tripartit Plus. Kenyataannya, sebagian besar suasana hubungan industrial lebih bernuansa provokasi.

Penutup.

  1. Sebetulnya, kebijakan ketenagakerjaan relatif sama di semua negara, termasuk Indonesia, yaitu kebijakan dalam penciptaan kesempatan kerja untuk para pencari kerja dan angkatan kerja baru. Masalah ketenagakerjaan di Indonesia secara terus menerus telah menjadi problem yang berkepanjangan. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan ekonominya untuk menyerap tenaga kerja yang cukup besar jumlahnya.
  2. Dalam konteks penyerapan tenaga kerja, maka harus disadari bahwa penciptaan lapangan kerja akan terjadi jika adanya pabrik-pabrik baru dan perluasan pabrik lama. Ini artinya, diperlukan investasi, baik asing maupun domestik. Investasi baru akan terjadi bila ada perbaikan pada faktor-faktor: keamanan, kepastian hukum dan peraturan, kebijakan pemerintah (moneter, fiskal, energi, ketenagakerjaan, otonomi daerah) yang kondusif. Oleh sebab itu, investasi merupakan faktor utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya dapat menciptakan kesempatan kerja.
  3. Dalam situasi ekonomi saat ini, untuk masalah ketenagakerjaan, peran pemerintah sebagai regulator belum bisa menciptakan situasi win-win solution. Masalah ketenagakerjaan terjebak dalam situasi memenangkan atau memihak siapa, kalau tidak pekerja ya pengusaha. Seolah-olah kepentingan antara pekerja dan pengusaha saling bertolak belakang, padahal yang seharusnya diciptakan oleh pemerintah adalah kondisi sama butuhnya. Pekerja butuh penghasilan yang mencukupi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, dan pengusaha butuh penghasilan untuk menjaga eksistensinya atau pertumbuhan usahanya.
  4. Bipartit merupakan sarana konsolidasi pekerja dan pengusaha untuk kepentingan bersama dan meningkatkan kesejahteraan bersama, yang pada akhirnya bermuara pada pertumbuhan lingkungan hidup.

artikel tentang masalah ketenagakerjaan indonesia

Masalah Ketenagakerjaan di Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia

www.depdagri.go.id

Struktur industri TPT nasional berdasarkan sektor.

  1. Sektor industri hulu (upstream), meliputi produksi serat (natural fiber dan man-made fiber atau synthetic) dan proses pemintalan (spinning) menjadi produk benang (unblended dan blended yarn). Sektor ini bersifat padat modal, teknologi menengah dan modern-full automatic, skala besar, jumlah tenaga kerja relatif kecil.
  2. Sektor industri menengah (midstream), meliputi proses penganyaman (interlacing) benang menjadi kain mentah lembaran (grey fabric) melalui proses pertenunan dan perajutan (weaving dan knitting) kemudian diolah lebih lanjut melalui proses pengolahan (dyeing, finishing dan printing) menjadi kain-jadi. Industri ini bersifat semi padat modal investasi dan modal kerja, teknologi madya dan modern-berkembang terus, jumlah tenaga kerja lebih besar dari sektor industri hulu.
  3. Sektor industri hilir (downstream), yaitu industri pakain jadi (garment) termasuk proses cutting, sewing, washing dan finishing yang menghasilkan ready-made garment. Sifat industri ini padat modal kerja, padat karya-sebagian besar wanita.

Masalah tenaga kerja di industri TPT nasional.

  1. Tenaga kerja merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi peningkatan daya saing produk TPT nasional di pasar global diantara faktor-faktor yang lainnya, yaitu: perbankan, energi, infrastruktur dan jarak/letak geografis negara Indonesia.
  2. Masalah tenaga kerja yang dihadapi industri TPT nasional yang mengakibatkan industri ini sulit bersaing dengan industri TPT dari negara-negara lain adalah:
    • Rendahnya produktivitas pekerja. Hasil penelitian tentang “Pemeringkatan Daya Tarik Investasi Kabupaten/Kota Tahun 2003” oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) adalah: 1) Dari 156 kabupaten: hanya 13 kabupaten yang produktivitas tenaga kerjanya sangat tinggi; 3 kabupaten produktivitas tenaga kerjanya tinggi; dan 24 kabupaten produktivitas tenaga kerjanya sedang. Sisanya, yaitu sebanyak 116 kabupaten adalah tenaga kerja yang produktivitasnya rendah dan sangat rendah. 2) Dari 44 kota: hanya 7 kota yang produktivitas tenaga kerjanya sangat tinggi; 5 kota yang produktivitas tenaga kerjanya tinggi; 14 kota yang produktivitas tenaga kerjanya sedang. Sisanya, yaitu sebanyak 18 kota adalah tenaga kerja yang produktivitasnya rendah dan sangat rendah.
    • Kekurangan tenaga professional, antara lain disektor industri weaving untuk bidang pemasaran dan disektor industri garment untuk tenaga di bidang merchandizing dan marketing. Hasil penelitian tentang kualitas pekerja, khususnya dalam hal pendidikan dan pengetahuan, sebagai berikut: 1) Hasil kajian kuisioner kualitas tenaga kerja KPPOD terhadap 5.140 pelaku usaha di 200 kabupaten/kota, yaitu: (i) Untuk usaha yang mempekerjakan > 100 tenaga kerja, 30,9% pelaku usaha menilai kualitas tenaga kerjanya kurang baik; (ii) Sementara untuk usaha yang mempekerjakan antara 20 s/d 100 tenaga kerja, sebanyak 20,7% pelaku usaha menilai kualitasnya kurang baik; (iii) Dan untuk usaha yang mempekerjakan < 20 tenaga kerja, sebanyak 20,4% pelaku usaha menilai kualitas tenaga kerjanya kurang baik. 2)Data dari Business News, September 2002, menyatakan dari total 100 juta jiwa pada tahun 2001 diketahui: (i) Berpendidikan rendah, yaitu 38% Sekolah Dasar (SD); (ii) Berpendidikan menengah (SLTP dan SMU) sekitar 35%; (iii) Tidak pernah lulus dan tidak pernah sekolah sekitar 22%; (iv) Pendidikan Tinggi dan Diploma hanya 5%, dan ini juga lebih dari setengahnya bekerja sebagai pegawai pemerintah (PNS dan BUMN/BUMD).

Masalah kebijakan ketenagakerjaan di industri TPT nasional.

Sejak diberlakukannya otonomi daerah, 01 Januari 2001, pelaksanaannya yang dominan muncul adalah penyimpangan dan efek negatif dari otonomi itu sendiri. Pemerintah daerah (pemda) berlomba-lomba memproduksi peraturan daerah (perda) untuk mengisi keuangan daerah (Pendapatan Asli Daerah – PAD) tanpa memikirkan dampaknya bagi dunia usaha. Otonomi daerah seharusnya dapat meningkatkan pelayanan pemerintah terhadap warganya, tetapi kenyataannya justru sebaliknya, yaitu dunia usaha justru dililit oleh pajak daerah maupun retribusi daerah yang bukan saja membebani akan tetapi juga menambah inefisiensi yang tahap akhirnya menciptakan hambatan terhadap perdagangan dan investasi bagi pengusaha/investor yang berniat berusaha/berinvestasi di daerah.

  • Hasil kajian tekstual KPPOD tahun 2003 terhadap 896 dokumen perda yang berhubungan dengan kegiatan usaha yang dikeluarkan oleh 200 pemda: 64 daerah (32%) perdanya distorsi; 107 daerah (53,5%) perdanya bisa diterima; dan 29 daerah (14,5%) perdanya dinilai supportif untuk kegiatan usaha.
  • Hasil survey dari Regional Economic Development Institute (Business News, April 2003) terhadap 1.014 pelaku usaha di 23 kabupaten/kota di 12 propinsi mengenai persepsi pelaku usaha tentang otonomi daerah dan dampaknya terhadap iklim usaha di daerah, yaitu: 1) 29,7% bermasalah dengan jumlah biaya dan pengurusan izin usaha. 2) Pungutan-pungutan liar yang dilakukan oleh oknum: aparat desa (27,7%), aparat pemda/kecamatan (24,6%), oknum kepolisian (16%), oknum TNI (9,3%), organisasi masyarakat (8%), satuan tugas partai politik (5%), dan aparat pelabuhan (2,7%).

Kerancuan koordinasi/kewenangan antara pusat dan daerah tidak jelas, khususnya dalam hal pelaksanaannya/operasionalnya. Dari survey yang dilakukan oleh Regional Economic Development Institute (Business News, April 2003), bahwa: sebanyak 57,5% pelaku usaha menyatakan pelayanan publik pemda buruk dan sebanyak 12,6% menyatakan lebih buruk dibandingkan sebelum adanya otonomi daerah.

Tumpang tindih peraturan antara pusat dan daerah, materinya banyak tidak mencerminkan keadilan yang tidak seimbang bagi industri dan juga tidak jelas, seperti:

  • Perda kota Bandung yang mengatur biaya retribusi tenaga kerja untuk kesehatan, wajib latih tenaga kerja, masalah PHK.
  • Sistem pengupahan: 1) Untuk penetapan uang/biaya: pesangon, penghargaan masa kerja, ganti kerugian, yang sebelumnya mengalami beberapa kali perubahan dan revisi. 2) Kenaikan upah di Bandung sampai terjadi 4 kali dalam kurun waktu setengah tahun dengan jumlah kenaikan hampir 100%.
  • Ratifikasi konvensi ILO No. 87/1948, ternyata menimbulkan masalah, yaitu jumlah serikat pekerja/buruh yang lebih dari satu dalam satu perusahaan. Sementara rambu-rambu hukum yang mengaturnya belum disiapkan, akibatnya konflik yang berkepanjangan antara serikat pekerja/buruh didalam perusahaan.

Penetapan kenaikan upah:

  • Setiap tahun lebih besar dari angka inflasi dan tidak melihat indikator ekonomi.
  • Tidak melihat kemampuan perusahaan untuk membayar upah (company ability to pay) serta tidak dikaitkan dengan tingkat produktivitas minimum perusahaan.

Dibenarkannya oleh pemerintah masuknya unsur ke-4 ikut dalam Tripartit, yaitu para pengamat ketenagakerjaan dan LSM perburuhan, dengan istilah Tripartit Plus. Kenyataannya, sebagian besar suasana hubungan industrial lebih bernuansa provokasi.

Penutup.

  1. Sebetulnya, kebijakan ketenagakerjaan relatif sama di semua negara, termasuk Indonesia, yaitu kebijakan dalam penciptaan kesempatan kerja untuk para pencari kerja dan angkatan kerja baru. Masalah ketenagakerjaan di Indonesia secara terus menerus telah menjadi problem yang berkepanjangan. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan ekonominya untuk menyerap tenaga kerja yang cukup besar jumlahnya.
  2. Dalam konteks penyerapan tenaga kerja, maka harus disadari bahwa penciptaan lapangan kerja akan terjadi jika adanya pabrik-pabrik baru dan perluasan pabrik lama. Ini artinya, diperlukan investasi, baik asing maupun domestik. Investasi baru akan terjadi bila ada perbaikan pada faktor-faktor: keamanan, kepastian hukum dan peraturan, kebijakan pemerintah (moneter, fiskal, energi, ketenagakerjaan, otonomi daerah) yang kondusif. Oleh sebab itu, investasi merupakan faktor utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya dapat menciptakan kesempatan kerja.
  3. Dalam situasi ekonomi saat ini, untuk masalah ketenagakerjaan, peran pemerintah sebagai regulator belum bisa menciptakan situasi win-win solution. Masalah ketenagakerjaan terjebak dalam situasi memenangkan atau memihak siapa, kalau tidak pekerja ya pengusaha. Seolah-olah kepentingan antara pekerja dan pengusaha saling bertolak belakang, padahal yang seharusnya diciptakan oleh pemerintah adalah kondisi sama butuhnya. Pekerja butuh penghasilan yang mencukupi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, dan pengusaha butuh penghasilan untuk menjaga eksistensinya atau pertumbuhan usahanya.
  4. Bipartit merupakan sarana konsolidasi pekerja dan pengusaha untuk kepentingan bersama dan meningkatkan kesejahteraan bersama, yang pada akhirnya bermuara pada pertumbuhan ekonomi nasional.

artikel tentang masalah sosial

Permasalahan Umum Kesehatan Anak Usia Sekolah

Usia anak adalah periode yang sangat menentukan kualitas seorang manusia dewasa nantinya. Saat ini masih terdapat perbedaan dalam penentuan usia anak. Menurut UU no 20 tahun 2002 tentang Perlindungan anak dan WHO yang dikatakan masuk usia anak adalahsebelum usia 18 tahun dan yang belum menikah. American Academic of Pediatric tahun 1998 memberikan rekomendasi yang lain tentang batasan usia anak yaitu mulai dari fetus (janin) hingga usia 21 tahun. Batas usia anak tersebut ditentukan berdasarkan pertumbuhan fisik dan psikososial, perkembangan anak, dan karakteristik kesehatannya. Usia anak sekolah dibagi dalam usia prasekolah, usia sekolah, remaja, awal usia dewasa hingga mencapai tahap proses perkembangan sudah lengkap.
Orang tua dan guru adalah sosok pendamping saat anak melakukan aktifitas kehidupannya setiap hari. Peranan mereka sangat dominan dan sangat menentukan kualitas hidup anak di kemudian hari. Sehingga sangatlah penting bagi mereka untuk mengetahui dan memahami permasalahan dan gangguan kesehatan pada anak usia sekolah yang cukup luas dan kompleks
Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Sekolah
Pengertian tumbuh kembang anak sebenarnya mencakup 2 hal kondisi yang berbeda tetapi saling berkaitan dan sulit dipisahkan yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan adalah berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran dan dimensi tingkat sel, organ maupun individu yang bisa diukur dengan ukuran berat, ukuran panjang, umur tulang dan keseimbangan metabolik.
Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil dari proses pematangan. Hal ini menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ dan system organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk di dalamnya adalah perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya.
Pertumbuhan berdampak terhadap aspek fisik sedangkan perkembangan berkaitan dengan pematangan fungsi organ dan individu. Kedua kondisi tersebut terjadi sangat berkaitan dan saling mempengaruhi dalam setiap anak.

artikel tentang korupsi

Mitos dan Bukan Mitos Skandal Perbankan

Skandal perbankan yang masih marak di tanah air hanyalah mitos yang dibesar-besarkan sementara pihak, atau benar merupakan bukti nyata masih lemahnya pengelolaan bank kita? Artikel Djoko Retnadi pada harian Jawa Pos (24/12) yang berjudul Mitos Dalam Skandal Perbankan cukup mengusik perhatian.

Karena alih-alih meluruskan persepsi dan mengubur mitos tentang hakikat usaha dan resiko bisnis perbankan sebagaimana dimaksud, artikel tersebut lebih terkesan menuding dan " menyalahkan " masyarakat. Serta tersirat juga di dalamnya upaya "penyelamatan muka " dan "cuci tangan " dari pihak manajemen atas skandal dan penyelewengan yang akhir-akhir ini terjadi pada dunia perbankan nasional.

Dalam artikelnya, Djoko Retnadi mempermasalahkan persepsi kebanyakan masyarakat yang melihat pengelola bank sebagai malaikat dari bawah ke atas. Retnadi menggugat anggapan masyarakat bahwa para bankir adalah satu sosok yang tidak pernah dan tidak bisa melakukan kesalahan. Sebab dalam kenyataannya memang usaha perbankan adalah usaha yang penuh resiko. Dimana salah satu resiko yang ditekankan dan dituding oleh Retnadi sebagai akar dari berbagai skandal yang terjadi adalah resiko operasional.

Persepsi dari kebanyakan masyarakat, walau tidak sepenuhnya tepat, adalah persepsi yang bukan tidak berdasar dan tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Karena bisnis perbankan adalah bisnis kepercayaan. Yang di dalamnya mengharuskan satu prinsip kehati-hatian, manajemen resiko yang ajek serta akuntabilitas yang tinggi.Jasa perbankan adalah jasa perantara (intermediary) dari pihak yang memiliki atau berlebihan dana kepada pihak yang tidak memiliki atau memerlukan dana.

Sehingga dalam operasinya bank menggunakan leverage berupa dana masyarakat dalam bentuk berbagai simpanan (deposits) yang diputarkan kembali kepada masyarakat dalam berbagai rupa pinjaman (loans). Dimana faktor keamanan dan keberhati-hatian adalah faktor puncak (paramount) yang harus menjadi ukuran penilaian utama dari kegiatan yang dilakukan.Jadi disini adalah wajar bila kemudian terdapat harapan akan adanya satu ekstra kehati-hatian dan sikap amanah dari para pengelola bank.

Walau masyarakat tentu saja tidak menganggap para bankir adalah malaikat. Namun di sisi lain, masyarakat juga tidak menginginkan praktek asal urus dan salah urus terdapat pada perbankan nasional sehingga kemudian berkembang tak ubahnya dengan praktek percaloan biasa.Berkaitan dengan ini, berbagai skandal dan penyelewengan yang terjadi belakangan di dunia perbankan nasional dan perbankan negara khususnya juga tidak dapat dikategorikan secara persis sebagai kegagalan atau resiko operasi yang lazimnya terjadi di dunia perbankan.

Sebab dalam prakteknya skandal-skandal ini bukan merupakan resiko operasi biasa seperti halnya yang disebabkan oleh perubahan drastis tingkat bunga atau nilai tukar mata uang asing secara mendadak sebagaimana misalnya yang terjadi pada saat krisis moneter di tahun 1997. Begitu juga hal tersebut bukanlah sesuatu yang sifatnya "tak terelakkan" seperti yang disebabkan oleh bencana alam seperti kebakaran, banjir, gempa bumi atau perampokan bersenjata dan listrik padam.

Skandal-skandal yang dewasa ini terjadi pada dunia perbankan nasional tidak lebih merupakan suatu penyelewengan (fraud) dengan modus tradisional yang kasat mata yang seyogyanya bisa dihindari bila saja ada kedisiplinan dan lebih kehati-hatian dari pihak manajemen dan karyawan dalam menjalankan tugas.

Dari kasus BNI, misalnya, amat sangat menggelikan kalau sampai detik ini mantan direktur utama yang kini sudah - dan layak - dipecat masih berkeras bahwa yang bersangkutan sama sekali tidak mengetahui urusan Letter of Credit (L/C), yang tidak banyak berbeda dengan kredit biasa, senilai ratusan milyar yang dikucurkan berulang kali oleh salah satu kantor cabangnya.

Padahal sudah menjadi praktek umum di dunia perbankan adanya satu penilaian kredit berjenjang. Jadi kredit bernilai sekian juta sampai sekian milyar rupiah dapat disetujui cabang, akan tetapi untuk jumlah lebih dari itu harus mendapat persetujuan kantor wilayah. Begitu juga kantor wilayah tidak dapat melakukan otorisasi keputusan kredit lebih dari sekian milyar rupiah tanpa adanya persetujuan dari kantor pusat
.

Jadi jelas untuk urusan dana ratusan milyar, pihak direksi sudah seharusnya mengetahui keberadaan kredit ini.Menjadi hal yang sulit masuk akal kalau kemudian dalam keterangan resminya mantan direktur utama Bank BNI mengatakan tidak tahu-menahu sama sekali urusan ini. Karena hal ini sama dengan mengatakan yang bersangkutan tidak melaksanakan tugas atau " asal-asalan " dalam melaksanakan tugas.

Begitu juga pada skandal di Bank Rakyat Indonesia (BRI), dapat kita saksikan betapa mudahnya seorang yang diketahui memiliki sejarah hitam di bidang perbankan menginstruksikan seorang kepala cabang untuk melakukan perubahan status warkat transaksi milyaran rupiah dari deposito (simpanan berkala) ke giro (simpanan cair yang bisa bersaldo minus) hanya melalui selembar facsmile.

Padahal untuk mengubah satu instruksi dari transaksi sebesar ini seharusnya terdapat otorisasi dari minimal dua pejabat pada tingkat cabang yang itupun harus dilakukan setelah melalui proses uji kelaikan (cross-checking) ataupun konfirmasi personal (ear-marking) terhadap nasabah dan pihak-pihak terkait.Kejadian ini tentu saja menyiratkan adanya kerendahan disiplin karyawan terhadap prosedur.

Yang merupakan cermin dari kekurangseriusan pihak manajemen untuk menerapkan pengawasan dan memberikan sanksi terhadap pelanggaran. Ditambah dengan tanggung jawab dan moralitas sebagai pimpinan. Maka adalah wajar kalau kemudian pihak manajemen juga diminta dan dituntut pertanggungjawaban terhadap penyelewengan ini.

Dalam hal ini, tidak tercermin adanya satu prinsip kehati-hatian dan manajemen resiko yang baik pada dunia perbankan nasional, khususnya pada perbankan negara, seperti yang terlihat pada kasus BNI dan BRI tentu saja menjadi suatu hal yang sangat memprihatinkan. Karena sudah demikian besar dan banyak pengorbanan yang diberikan rakyat untuk mereka.

Masih belum hilang dalam benak masyarakat besarnya dana yang dihamburkan (Rp. 432 triliun) untuk "menyelamatkan" industri perbankan nasional. Yang bahkan sampai saat inipun setiap tahunnya selama dua puluh tahun ke depan rakyat masih harus menanggung beban dalam bentuk pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi yang besarnya kurang lebih dua puluh triliun rupiah.

Tidak aneh bila hanya dengan ongkang-ongkang kaki sambil menangguk pendapatan dari bunga obligasi pemerintah, bank-bank di Indonesia sudah mampu menunjukkan untung dalam laporan rugi-labanya. Bila saja pendapatan dari bunga obligasi ini ditiadakan niscaya mereka semua merugi. Sebagaimana yang tercermin pada berbagai laporan keuangan bank pada tahun 2002, dimana secara rata-rata bank nasional sebenarnya masih merugi sebesar kurang lebih Rp. 3.5 triliun rupiah bila saja pendapatan dari bunga obligasi pemerintah dicabut.

Hal ini sama saja berarti industri perbankan nasional adalah industri yang tidak tahu diri. Dan tidak terlalu salah kalau dikatakan monyet pun bila dipasangkan dasi bisa menjadi direktur dan pegawai bank di Indonesia. Mereka terus saja menadah dari pemerintah dan rakyat tanpa berupaya keras untuk memperbaiki diri dan mengkompensasi balik pengorbanan rakyat yang telah diberikan..

Ironisnya lagi semua ini berjalan dalam iklim ekonomi yang lumayan kondusif. Dimana terdapat pertumbuhan ekonomi yang mulai pesat, tingkat inflasi dan suku bunga yang relatif rendah, dan politik yang lumayan stabil. Yang seharusnya menasbihkan permintaan modal yang tinggi dari masyarakat dan naik pamornya perbankan nasional.

Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada bank-bank nasional bila saja terjadi krisis atau resesi perekonomian.Untuk itu sebagai upaya menutup berbagai kekurangan yang masih sangat-sangat telanjang bulat pada perbankan nasional saat ini yang dibutuhkan adalah kerja keras dan komitmen yang tinggi untuk perbaikan dari segenap direksi, manajemen dan karyawan dari perbankan nasional.

Dan bukan mencoba " meluruskan " persepsi dan meredam tuntutan masyarakat. Karena persepsi dan tuntutan masyarakat adalah persepsi dan tuntutan yang wajar dari mereka yang kecewa dan muak dengan berbagai salah urus, asal urus, penyelewengan dan skandal yang tidak kunjung habis menjerat perbankan nasional.

artikel tentang astronomi

http://file2shared.files.wordpress.com/2009/05/bintang-mutiara.jpg?w=298&h=225


Supernova yang diberi nama 1987A tersebut sudah diketahui sejak dua dekade lalu. Namun, bentuknya yang unik tersebut baru terungkap setelah dipotret Hubble pada Desember 2006 lalu.

Di bagian dalam lingkaran berwarna merah muda mungkin materi yang tertinggal saat ledakan dahsyat terjadi. Sementara bagian yang menyala terang di sekelilingnya merupakan lapisan terluar materi yang dipancarkan bintang saat memasuki masa-masa sekarat.

Saat bintang kehabisan energi, terjadi ledakan raksasa dan menghasilkan gelombang kejut yang memanaskan bagian terluar materi tersebut. Hal inilah yang membuat lingkaran terluar menyala terang. Uniknya, bagian terluar yang berpendar membentuk bulatan-bulatan mirip mutiara.

Artikel tentang pendidikan


Masalah Pendidikan di Indonesia



Peran Pendidikan dalam Pembangunan


Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.

Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini.

Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan


Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.

Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.

Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.

Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”

Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas


”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.

Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.

Privatisasi dan Swastanisasi Sektor Pendidikan


Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).

Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.***

artikel tentang ekonomi

SISTEM INFORMASI DAN STRATEGI BISNIS
Sistem informasi strategis, sistem komputer yang digunakan level organisasi untuk mengubah sasaran, pengoperasian, produk, jasa, atau relasi lingkungan untuk membantu organisai meraih keunggulan kompetitif.
Keputusan strategi bisnis dari perusahaan tergantung pada:

  • Produk dan jasa yang dhasilkan perusahaan
  • Industri di mana perusahaan bersaing
  • Pesaing, pemasok, dan pelanggan dari perusahaan
  • Tujuan jangka panjang dari perusahaan

Strategi level Bisnis: Model Rantai Nilai
Strategi yang paling umum untuk level ini adalah:

  1. menjadi penghasil produk dengan biaya produksi yang rendah
  2. mendiferensiasikan produk dan jasa
  3. mengubah lingkup persaingan baik dengan cara memperluas pasar sampai ke pasar global maupun dengan mempersempit pasar.

Model rantai nilai, model yang memberi perhatian pada aktivitas primer dan pendukung yang menambah nilai bagi produk dan jasa perusahaan di mana sistem informasi paling baik diterapkan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif.
Aktivitas primer yaituaktivitas yang langsung berhubungan dengan produksi dan distribusi produk perusahaan atau jasa. Sedangkan aktivitas pendukung adalah aktivitas yang memungkinkan pelaksanaan aktivitas primer. Terdiri dari infrastruktur organisasi, sumber daya manusia, teknologi, dan pengadaan.
Nilai web mengacu ke jaringan pelanggan-terkendali pada perusahaan yang memanfaatkan teknologi informasi untuk mengkoordinasikan rantai nilainya agar secara kolektif menghasilkan produk atau jasa kepada pasar.

Produk dan Jasa Sistem Informasi
System yang menciptakan diferensiasi produk:

  • Perusahaan dapat menggunakan IT untuk mengembangkan produk-produk berbeda.
  • Menciptakan loyalitas merek dengan mengembangkan produk yang unik dan baru dan jasa
  • Produk dan jasa tidak mudah diduplikasi oleh pesaing. Contohnya, Dell Corporation.

Sistem yang Mendukung Ceruk Pasar
Analisis intensif menggunakan data pelanggan untuk mendukung cara-cara baru menghubungi dan melayani pelanggan yang memungkinkan untuk mengembangkan ceruk pasar baru untuk produk atau jasa khusus. Contohnya, program frequent guest Hotel Wyndam

Supply Chain Management dan Sistem Respon Pelanggan Efisien
Sistem yang menghubungkan rantai nilai perusahaan ke rantai nilai pemasok dan konsumen. System yang secara langsung menghubungkan kembali perilaku konsumen ke distributor, produksi, dan supply chain. Contoh: Wal-Mart menghubungkan langsung pembelian pelanggan ke pemasok hampir saat itu juga. pekerjaan pemasok adalah untuk memastikan produk yang dikirim ke toko untuk menggantikan produk yang dibeli.

IT pada level organisasi digunakan untuk menghindari beralihnya konsumen ke pemasok lain dan mengikat mereka pada perusahaan. Biaya penggantian adalah biaya yang dikeluarkan oleh pelanggan atau perusahaan untuk waktu dan sumber daya yang terbuang sewaktu berganti dari satu pemasok atau ke sistem pemasok atau sistem pesaing. Contohnya, Baxter International.

Strategi level-perusahaan dan Teknologi Informasi
Memperluas kompetensi inti, kegiatan di mana perusahaan unggul sebagai pemimpin kelas dunia. Sistem informasi mendorong berbagi pengetahuan di seluruh unit bisnis dan karenanya perusahaan meningkatkan kompetensi.

Strategi level-industri dan Sistem Informasi: kekuatan-kekuatan kompetitif dan perekonomian jaringan. Perusahaan beroperasi di lingkungan lebih besar yang terdiri dari perusahaan lain, pemerintah, dan bangsa. Kemitraan informasi, aliansi kerjasama yang dilakukan oleh dua atau lebih perusahaan yang bertujuan berbagi informasi untuk memperoleh keuntungan strategis. Membantu perusahaan mendapatkan akses ke pelanggan baru, menciptakan peluang-peluang baru untuk cross-selling dan penargetan produk.

Model lima kekuatan Porter
Dalam lingkungan yang lebih besar, terdapat lima kekuatan utama atau ancaman:

  1. Pasar baru pendatang
  2. Produk dan jasa pengganti
  3. Pemasok
  4. Pelanggan
  5. Perusahaan lain yang bersaing secara langsung

Model kekuatan kompetitif, model yang digunakna untuk menjelaskan interaksi dari pengaruh-pengaruh eksternal, ancaman-ancaman khusus dan peluang-peluang, yang mempengaruhi strategi dan kemampuan organisasi dalam bersaing. Teknologi internet telah mempengaruhi struktur industri dengan

  • Memberikan teknologi yang mempermudah para pesaing untuk berkompetisi dalam hal harga dan para pemain baru pada pasar.
  • Meingkatkan informasi yang tersedia bagi pelanggan dalm hal harga sehingga meningkatkan bargaining powernya.
  • Menurunkan kekuatan pemasok
  • Barang-barang substitusi

Ekosistem bisnis
IT memainkan peran yang kuat dalam menciptakan bentuk-bentuk baru produk ekosistem bisnis. Ekosistem bisnis adalah jaringan pemasok, distributor, perusahaan outsourcing, perusahaan jasa transportasi, dan teknologi manufaktur yang saling berkaitan. Sebagai contoh, Microsoft: 1 milyar PC di seluruh dunia dan ratusan ribu bisnis bergantung pada platform Microsoft. EBay: Jutaan orang dan ribuan perusahaan bisnis menggunakan platform ini. Wal-Mart: Enterprise sistem yang digunakan oleh pemasok untuk meningkatkan efisiensi

Jaringan Ekonomi
Produk dan layanan IT menunjukkan efek jaringan yang kuat dan berpotensi menciptakan situasi "winner take all". Jaringan menyebabkan biaya yang dikeluarkan untuk menambah partisipan lainnya nol atau sedikit, sebaliknya keuntungan yang diperoleh bisa semakin besar. Bertentangan dengan hukum penurunan laba pada produk industri dan pertanian. Contohnya, Nilai dari Internet tumbuh secara eksponensial dengan kenaikan linier pengguna. Karena perangkat lunak tertentu dapat menjadi standar (seperti sistem operasi Windows atau Windows Office), orang bisa terkunci ke dalam standar dan nilai Windows tumbuh karena semakin banyak orang yang menggunakannya.

Strategi yang bagus, menggunakan IT untuk membangun produk dan jasa yang menyebabkan efek jaringan. Peluang manajemen, Perusahaan menghadapi perkembangan IT berbasis peluang untuk mendapatkan keunggulan strategis.

Tantangan Manajemen

  • Beberapa perusahaan menghadapi rintangan besar dalam menerapkan sistem kontemporer.
  • Setelah keuntungan tercapai, ada kesulitan dalam mempertahankan keunggulan.
  • Organisasi sering tidak dapat berubah untuk mengakomodasi teknologi baru dengan cukup cepat

Pedoman Penyelesaian melakukan analisis sistem strategis

  • Memahami struktur dan dinamika persaingan industri dimana perusahaan beroperasi.
  • Memahami rantai nilai bisnis, perusahaan, dan industri
  • Mempertimbangkan bagaimana perusahaan dapat mengelola "peralihan strategis" sebagai usaha untuk menerapkan sistem yang memberikan keunggulan kompetitif.